PERAN KEPPH (KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM) DALAM AKTIVITAS PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM
Mahdi Haidar Hakim Pengadilan Agama Tabanan

PERAN KEPPH (KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM) DALAM AKTIVITAS PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM
Mahdi Haidar
Hakim Pengadilan Agama Tabanan
Abstrak
Kekuasaan kehakiman menjamin kebebasan Hakim dalam memutus perkara. Jaminan kebebasan Hakim juga berkaitan dengan kebebasannya dalam melakukan rechtsvinding (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009). Konsekuensi logis dari aktivitas rechtsvinding, Hakim tidak jarang melakukan contra legem termasuk dalam Hukum Acara. Hakim dituntut untuk taat dengan Keputusan Bersama Ketua MA RI dan Ketua KY RI Nomor : 047/KMA/SKB/IV/2009 Dan Nomor : 02/Skb/P.KY/IV/2009 khususnya poin “bersikap profesional” yang dimaknai Hakim tidak boleh melanggar hukum acara. Dua ketentuan diatas menimbulkan persoalan hukum yaitu antinomi norma. Tujuan artikel ini adalah untuk menganalisis bagaimana sikap Hakim yang seharusnya dalam menyikapi pertentangan norma diatas. Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Kesimpulan pada artikel ini adalah seharusnya Badan Pengawasan tidak berwenang memeriksa pengaduan yang bersifat penerapan hukum baik materil maupun formil.
Kata Kunci: Kekuasaan Kehakiman, Rechtsvinding, Kode Etik
A. Pendahuluan
Indonesia pada dasarnya menganut konsep trias politica. Makna konsep Trias Politica dari Montesquieu yang ditulis dalam bukunya L’esprit des lois (The Spirit of Laws) menawarkan suatu konsep mengenai kehidupan bernegara dengan melakukan pemisahan kekuasaan secara vertikal, agar saling mengawasi antar Lembaga negara (check and balances), selain itu agar dapat membatasi kekuasaan agar tidak terjadi pemusatan pada satu lembaga yang nantinya melahirkan kesewenang-wenangan.[1]
Ditinjau dari segi pembagian kekuasaannya, lembaga negara atau lembaga pemerintah dapat dibedakan ke dalam 2 (dua) bagian yaitu :
- Secara Vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut Maksudnya adalah pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan misalnya antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam Negara Kesatuan;
- Secara Horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Maksudnya pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
Ciri khas pemisahan kekuasaan Negara sebagaimana dimaksud konsep trias politica adalah masing-masing lembaga tinggi negara memiliki kekuasaan yang Merdeka dalam menjalankan fungsinya. Termasuk dalam lembaga Yudikatif, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan:
“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.“
Frasa “mandiri” diatas bermakna Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaku Kekuasaan Kehakiman bebas dari segala bentuk intervensi baik dari dalam instansi maupun luar instansi. Hal tersebut ditekankan dalam penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa:
“Kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.”
Salah satu aspek yang dijamin oleh kemerdekaan kekuasaan kehakiman adalah “rechtsvinding”, seperti disebutkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa:
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam Masyarakat”.
Konsekuensi logis dari aktivitas rechtsvinding adalah dimungkinkan Hakim akan melakukan contra legem atas ketentuan norma terutama hukum acara. Disisi lain aktivitas ini bertentangan dengan Poin 10 Keputusan Bersama Ketua MA RI dan Ketua KY RI Nomor : 047/KMA/SKB/IV/2009 Dan Nomor : 02/Skb/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim yaitu “berperilaku profesional”.
Berperilaku profesional didefinisikan sebagai:
Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Sikap profesional akan mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien.
Hal tersebut kemudian dijelaskan pada Pasal 14 serta Pasal 18 ayat (4) PB MARI dan KY No. 02/PB/MA/IX/2012-02/PB/P.KY/09/2012 bahwa:
- Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas.
- Sikap profesional akan mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien.
Dalam praktiknya, pelanggaran atas kode etik Hakim “berperilaku profesional”, dimaknai ketika Hakim tidak melaksanakan hukum acara. Menurut data dari Badan Pengawasan Mahkamah Agung pada Pengumuman yang dirilis pada tanggal 1 April 2024 tentang Pengumuman sanksi/Hukum disiplin bulan Januari – Maret 2024, ada 4 Hakim yang terbukti melanggar SKB Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial No. 047/KMA/SK/IV/2009 – No.02/SKB/P.KY/IV/2009 huruf C Pengaturan angka 10 Bersikap Profesional jo. Pasal 14 serta Pasal 18 ayat (4) PB MARI dan KY No. 02/PB/MA/IX/2012-02/PB/P.KY/09/2012 karena lalai dalam menegakkan hukum acara.
Hal tersebut memunculkan persoalan hukum bahwa: ada 2 (dua) ketentuan yang saling bertentangan (antinomi of norm), yaitu Hakim wajib menggali nilai-nilai keadilan yang ada di masyarakat, termasuk dalam hal penerapan hukum acara perdata, tetapi disisi lain, dalam Upaya mematuhi kode etik dan pedoman perilaku Hakim, Hakim dituntut untuk taat kepada hukum acara perdata yang berlaku. Agar mengkonkritkan isu hukum yang penulis angkat, penulis menggunakan ilustrasi sebagai berikut: A adalah suami dan B adalah istri, telah melakukan perceraian yang diajukan ke Pengadilan.
Kemudian B mengajukan gugatan harta bersama kepada A. in casu a-quo, semua alat bukti terkait objek sengketa dikuasai sepenuhnya oleh A. Dalam hal ini terdapat asas umum dalam perdata yaitu Actori In Cumbit Probatio, actore non probante reus absolvitur. Asas tersebut tertuang pada Pasal 163 HIR/283 R.bg/1865 KUHPerdata yang singkatnya berbunyi: barangsiapa yang memiliki hak atas sesuatu, maka wajib membuktikan dalilnya. Apabila tidak bisa membuktikan dalilnya, maka gugatannya harus ditolak.
Ketentuan diatas mengisyaratkan bahwa beban pembuktian dibebankan kepada siapa yang menggugat. Dalam ilustrasi diatas, B sebagai penggugat yang menggugat harta Bersama tidak memegang alat bukti kepemilikan atas objek yang disengketakan karena semua alat bukti tersebut dikuasai oleh A. Hal tersebut tidak bisa diterapkan asas Actori In Cumbit Probatio sebab alat bukti kepemilikan atas objek sengketa dikuasai oleh A. Disisi lain Ketika Hakim melakukan contra legem atas ketentuan Pasal 163 HIR/283 R.bg/1865 KUHPerdata, akan dikategorikan sebagai pelanggaran atas hukum acara perdata (unprofessional conduct), yang tercermin pada poin ke Poin 10 Keputusan Bersama Ketua MA RI dan Ketua KY RI Nomor : 047/KMA/SKB/IV/2009 Dan Nomor : 02/Skb/P.KY/IV/2009. Kondisi dilematis ini yang kemudian akan penulis bahas dalam artikel ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
- Bagaimana batasan Hakim dalam melakukan rechtsvinding?
- Bagaimana kedudukan kode etik dalam konteks penemuan hukum oleh Hakim?
C. Pembahasan
1. Fungsi dan Batasan Hakim dalam Melakukan Rechtsvinding
Bagir Manan, mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan tugas dan perannya, hakim memiliki kewajiban menemukan hukum karena disebabkan oleh beberapa hal, yaitu Pertama: tidak semua peristiwa sosiologis diatur oleh peraturan perundang-undangan. Kedua: adanya antinomi atau pertentangan norma; Ketiga: adanya perkembangan Masyarakat yang tidak terkodifikasi oleh teks-teks yuridis otoritatif; Keempat: adanya norma yang secara imperatif mengamanatkan kepada Hakim untuk tidak menolak suatu perkara atau permohonan yang tidak ada dasar hukumnya.[2]
Dalam melakukan penemuan hukum, Hakim harus melihat ketentuan normatif atas peristiwa yang sedang diadili, apabila ketentuan pada Undang-Undang tidak jelas, maka Hakim melakukan penafsiran otentik atau sistematis, historis maupun sosiologis. Jika tidak ditemukan dasar hukumnya, maka hakim melakukan penemuan hukum dengan cara penalaran argumentum a contrario, argumentum per-analogiam, atau penyempitan hukum dan menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[3]
Konsekuensi logis dari konstruksi berfikir diatas adalah, jika ditemukan norma yang tidak jelas, multitafsir (obscuur), terjadi pertentangan norma (antinomi of norm) baru dicari kelengkapannya dari sumber hukum yang lain-lainnya. Hakim dalam mengadili perkara seringkali menjumpai adanya ketentuan normatif yang tidak mengakomodasi peristiwa-peristiwa kongkrit yang berkembang di Masyarakat. Sehingga seringkali Hakim harus menemukan sendiri hukum itu (Rechtsvinding), untuk melengkapi hukum yang sudah ada, dalam menyelesaikan peristiwa konkrit yang dihadapkan kepadanya, untuk dijadikan dasar dalam memutus suatu perkara. Hakim atas inisiatif sendiri harus menggali dan menemukan hukum dalam masyarakat.[4]
Dalam teori ilmu hukum juga terdapat asas “het recht hink achter de feiten aan”, yaitu bahwa hukum terkadang tertatih-tatih untuk mengikuti perkembangan yang ada di dalam Masyarakat. Asas diatas linier dengan pembahasan diatas bahwa norma itu bersifat statis, sedangkan persoalan di Masyarakat itu bersifat dinamis. Persoalan yang dinamis dan selalu berubah-ubah tidak bisa diakomodasi dengan payung normatif yang bersifat diam dan stagnan. Sehingga hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya, kekaburan norma, ketidaklengkapan norma, atau adanya pertentangan norma. Diharapkan Hakim ketika menjumpai persoalan diatas dapat memberikan Solusi atas legal problem tersebut yang dituangkan dalam Putusan[5]
Sistem penegakan hukum di Indonesia memberikan tugas yang sangat sentral kepada Hakim dalam memutuskan dan menyelesaikan perkara yang diajukan. Dalam memeriksa perkara yang diajukan, Hakim dianggap mengetahui semua hukumnya (ius curia novit) yang akan menentukan hitam putihnya hukum melalui putusannya.[6]
Oleh sebab itu kekosongan norma atau ketidaklengkapan norma harus diselesaikan dengan cara penemuan hukum supaya fit and proper dengan peristiwa hukum yang muncul. Pada hakikatnya semua perkara yang harus diselesaikan oleh Hakim di Pengadilan membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya sehingga dapat dihasilkan putusan yang ideal, yang mengandung aspek yuridis (kepastian), filosofis (keadilan) dan kemanfaatan (sosiologis).[7]
Meskipun dikatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang nyaris tidak memberikan peluang diskresi bagi Hakim (optimam esse legem. quae minimum relinquit arbitrio judicis; id guod certitude ejus praestat), namun dalam prakteknya, banyak ditemukan bahwa undang-undang ternyata tidak lengkap atau tidak jelas meskipun dalam penjelasan undang-undang sudah disebutkan cukup jelas. Oleh karena itu hakim harus mencari dan menemukan hukumnya (rechtsvinding), karena setiap aturan hukum perlu dijelaskan dan memerlukan penafsiran sebelum diterapkan pada peristiwa tertentu.[8]
Memang dalam keadaan tertentu ada asas hukum optimam esse legem, quae minimum relinquit arbitrio judicis; id guod certitude ejus praestat, interpretatio cessat in claris, interpretation est proviso. Apabila norma itu sudah jelas maka tidak boleh ditafsirkan diluar makna teks tersebut. Menurut hemat penulis asas tersebut betul dan dapat diterapkan apabila kondisi norma yang hendak diterapkan adalah norma yang sempurna. Minimal tidak mengandung beberapa persoalan norma seperti: Kekaburan norma, kontradiksi norma, kekaburan norma, dan ketidaklengkapan norma. Dalam hal suatu norma terjadi persoalan diantara yang penulis sebutkan diatas, maka berlaku asas het recht hink achter de feiten aan, sehingga konsekuensi logisnya Hakim dapat menafsirkan norma tersebut dengan melihat nilai-nilai keadilan yang tersebar di Masyarakat.
Dengan demikian Hakim Indonesia, dengan mengacu pada UUD Negara RI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, berhak untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dan penciptaan/pembentukan hukum (rechts-schepping), dan tidak hanya sekedar corong dari undang-undang (rechtstoepassing). Hakim dalam melakukan aktivitas progresif diatas tidak terbatas hanya pada hukum materil saja, melainkan juga berlaku untuk hukum formil.
2. Kedudukan Kode Etik dalam Konteks Penemuan Hukum oleh Hakim
Penerapan kode etik dan pedoman perilaku Hakim dianggap sebagai sesuatu yang baik, karena etika dan tingkah laku hakim mempunyai kekuatan mengikat, terutama pelaksanaannya dalam lingkup pengadilan maupun di luar. Kode etik ini merupakan kodifikasi hukum atas nilai-nilai universal yang abstrak. Agar nilai-nilai yang abstrak tersebut dapat dikonkritkan, maka dinormakanlah nilai-nilai universal yang abstrak diatas menjadi formulasi normatif yang disebut kode etik. Selain dalam Upaya mengkonkritisasi nilai yang abstrak, formulasi normatif dimaksud untuk memberikan akibat hukum yang nyata apabila subjek yang terikat oleh kode etik tersebut. Sebab jika nilai-nilai universal tetap dibiarkan abstrak, maka tidak ada kepastian mengenai akibat hukum apabila ada yang melanggar ketentuan tersebut.
Formulasi normatif atas nilai-nilai etis lazim disebut kode etik. Jika berbicara kode etik, maka akan disesuaikan dengan profesi tertentu. Seperti Dokter mempunyai kode etik Dokter, Advokat mempunyai kode etik Advokat, Jaksa juga memiliki kode etik Jaksa, begitu juga dengan Hakim, Hakim juga memiliki kode etik yang lazim dikenal Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut : (1) Berperilaku Adil, (2) Berperilaku jujur, (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegrasi Tinggi, (6) Bertanggung Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisiplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati, (10) Bersikap Profesional.[9]
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim difungsikan sebagai guidance bagi para Hakim untuk menjalankan amanah konstitusi yaitu menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman. Agar dalam menjalankan fungsi tersebut Hakim menjunjung tinggi nilai-nilai etis profesinya.
Dalam memformulasikan norma, tidak jarang terjadi pertentangan norma satu dengan norma yang lain. Pertentangan norma lazim disebut antinomi norma. Antinomi merupakan pertentangan antara norma satu dengan norma hukum yang lain. Dalam Bahasa lain, antinomi norma adalah ketika ditemukan pertentangan antara satu peraturan dengan peraturan yang lain.[10] Sejalan dengan pendapat Fockema, antinomi adalah ditemukannya dua norma hukum atau lebih yang saling bertentangan, sehingga harus dicari solusinya dengan metode tafsir hukum. Antinomi adalah dua ketentuan yang berseberangan. Dalam hal menjumpai antinomi of norm, Hakim diharapkan menciptakan keseimbangan dan keselarasan. [11]
Dalam sejarahnya antinomi dikemukakan oleh Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason, tentang perselisihan mendasar antara akal dan alam. Diskursus tersebut berimplikasi terhadap diskursus ilmu hukum, dengan mengaitkan pertentangan antara akal dengan alam, dengan pertentangan normatif antara ketentuan peraturan satu dengan lainnya. Berangkat dari konstruksi berfikir diatas, munculah diskursus hukum yang bermula dari konsep analisis pertentangan norma.[12]
Sebagai hasil perenungan nilai, teks-teks yuridis otoritatif dalam penerapannya banyak ditemukan pertentangan yang lazim terjadi antara asas keadilan dengan asas kepastian hukum. Menurut Immanuel Kant yang dikutip oleh van Apeldoorn. Jika hukum diterapkan persis sesuai dengan teksnya, maka keadilan akan semakin terpinggirkan (summum ius summa in iuria). Namun, jika hukum disesuaikan dengan peristiwa tertentu, akan muncul semakin banyak ketidakpastian dalam penerapannya.[13]
Dalam konteks permasalahan yang penulis angkat, terjadi pertentangan pada 2 (dua) norma, antara Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009, Nomor: 02/SKB/P.KY/IV/2009 jo Keputusan Bersama Ketua MA RI dan Ketua KY RI Nomor: 02/PB/MA/IX/2012, Nomor : 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Pertentangan diatas dapat dijabarkan sebagai berikut:
Pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan:
“Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan”
Ketentuan diatas menunjukkan bahwa Hakim dalam memutus perkara yang secara normatif terdapat persoalan hukum seperti: kekaburan norma, pertentangan norma (Antinomi of Norm), Ketidaklengkapan norma (uncomplete of norm), Kekosongan Norma (Vacuum of Norm), maka Hakim dapat melakukan rechtsvinding maupun rechtsvorming. Aktivitas rmaechtsvinding dan rechtsvorming tersebut memungkinkan Hakim melakukan penafsiran diluar ketentuan norma yang ada, termasuk Hukum Acara Perdata. Prinsip ini bertentangan dengan Poin ke 10 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009, Nomor: 02/SKB/P.KY/IV/2009 jo Keputusan Bersama Ketua MA RI dan Ketua KY RI Nomor: 02/PB/MA/IX/2012, Nomor : 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yaitu bersikap profesional.
Dalam ketentuan tersebut bersikap profesional dijabarkan sebagai: suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Sikap profesional akan mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien.
Bersikap profesional sebagaimana dimaksud oleh ketentuan diatas, lazim dimaknai Hakim wajib menguasai dan menaati Hukum Acara Perdata. Pelanggaran dan abai atas ketentuan normatif Hukum Acara Perdata, dapat dikategorikan sebagai unprofessional conduct. Menurut hemat penulis, dalam menyelesaikan antinomi of norm diatas, perlu dibahas terlebih dahulu batasan Hakim dalam menemukan Hukum, kemudian membahas kedudukan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim terhadap kebebasan hakim dalam menemukan hukum. Sebagaimana dikutip dari majalah Komisi Yudisial Edisi April Tahun 2017 yang menjelaskan bahwa: Menjaga dan memelihara agar tindakan atau kelalaian profesional tidak terjadi. Kesalahan atau kelalaian menerapkan keahlian substantif maupun prosedural merupakan kesalahan profesional (unprofessional conduct). Hal ini menjelaskan bahwa pelanggaran atau pengabaian atas ketentuan hukum prosedural (dapat dimaknai sebagai Hukum Acara) termasuk kategori unprofessional conduct.[14] Secara gramatikal frasa kesalahan diatas dapat diartikan penerapan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku.
Untuk mempermudah dalam memahami isu hukum yang penulis bahas, maka akan diberikan contoh ilustrasi sebagai berikut: A adalah suami dan B adalah istri, telah melakukan perceraian yang diajukan ke Pengadilan. Kemudian B mengajukan gugatan harta bersama kepada A. in casu a-quo, semua alat bukti terkait objek sengketa dikuasai sepenuhnya oleh A.
Menurut hemat penulis, dalam kasus posisi diatas, tidak bisa diterapkan Pasal 163 HIR/283 R.bg/1865 KUHPerdata yang singkatnya berbunyi: barangsiapa yang memiliki hak atas sesuatu, maka wajib membuktikan dalilnya. Konsekuensi logisnya dalam kasus diatas tidak bisa diterapkan asas Actori In Cumbit Probatio, actore non probante reus absolvitur. Hal ini didasari bahwa, filosofi ketentuan Pasal 163 HIR Jo. 283 R.bg Jo. 1865 KUHPerdata dibuat dengan asumsi kedudukan antara Penggugat dan Tergugat memiliki bargaining position yang sama. Artinya secara kedudukan hukum Penggugat diasumsikan bisa membuktikan dalilnya dimuka persidangan, sebab penggugat menguasai bukti-bukti kepemilikannya. Dalam hal kondisinya berbeda dengan filosofi dibuatnya suatu ketentuan normatif, maka tidak bisa diterapkan sama.
Beban pembuktian dibebankan kepada pihak yang memiliki bargaining position kuat, telah lazim digunakan dalam perkara-perkara perdata lain, misalnya perkara Perselisihan Hubungan Industrial. Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 menjelaskan: Penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja yang menjadi bagian perselisihan hubungan industrial diajukan melalui mekanisme gugatan contentiosa”. Pada praktiknya, tidak sedikit pengusaha yang memutuskan hubungan kerja pekerja/buruhnya, tanpa terlebih dahulu mengajukan permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja ke PHI. Kemudian, pengusaha tidak pula mengajukan gugatan ke PHI, sehingga untuk mendapatkan kepastian kelanjutan hubungan kerja maupun segala akibat hukum yang timbul dari putusnya hubungan kerja, maka pekerja/buruh terpaksa mengajukan gugatan ke PHI.
Oleh karena, untuk memeriksa dan menyelesaikan perselisihan pemutusan hubungan kerja yang merupakan bagian dari perselisihan hubungan industrial, harus melalui mekanisme gugatan contentiosa sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 81 UU 2/2004, maka pekerja/buruh yang pendidikan hukumnya tidak cukup, seringkali justru tidak mendapatkan kepastian kelanjutan hubungan kerja maupun segala akibat hukum yang timbul dari putusnya hubungan kerja. Jika gugatan PHK diajukan oleh buruh maka sebagai Penggugat buruh akan kesulitan membuktikan dalilnya, karena tidak jarang semua bukti dikuasai oleh Pengusaha, seperti Salinan perjanjian kerja, slip pembayaran upah, kartu tanda karyawan, bahkan surat pemutusan hubungan kerja.
Penulis sedikit memberikan data pembanding di negara lain seperti Belanda. Dalam hukum Belanda aturan tentang ontslag op staande voet (pecat di tempat) diatur dalam pasal 677, 678, dan 679 BW (KUH Perdata Belanda). Artinya, dalam hal ini yang dilihat memang aspek perjanjian kerjanya. Di sana tercantum dringende redenen (alasan-alasan mendesak) yang dapat menjadi dasar untuk melakukan pemutusan hubungan kerja seketika. Pihak yang memecat harus memberitahukan alasannya ke pihak yang dipecat. Alasan tersebut mesti berhubungan dengan tindakan atau kondisi personal pihak yang dipecat. Doktrin de druppel die de emmer doet overlopen’ (tetes air yang membuat ember luber) dianggap berlaku. Artinya, kesalahan sepele yang diawali kesalahan-kesalahan sebelumnya, dapat mempengaruhi tingkat keseriusan kesalahan yang dibuat.[15]
Apabila pihak yang dipecat keberatan, Buruh dapat mengajukan banding ke pengadilan. Hakim akan memutuskan secara in concreto apakah pemecatannya sah dengan memperhatikan alasan pemecatan. Bukan pihak yang dipecat yang harus datang dengan pembuktian bahwa alasan pemecatan tidak berdasar, namun pihak yang memecat yang harus membuktikan.[16] Fakta tersebut menunjukkan bahwa pemikiran omkering van bewijslast merupakan hal yang lazim diterapkan dalam hal terjadi ketimpangan posisi tawar antar subjek hukum. Jika dalam kasus harta bersama ketimpangannya terletak pada istri, dimana istri kesulitan membuktikan gugatannya dikarenakan semua bukti kepemilikan atas objek sengketa dikuasai oleh Suami. Sedangkan dalam perkara Perselisihan Hubungan Industrial, ketimpangan posisi tawarnya terletak pada buruh, dimana buruh berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan seperti, berpendidikan rendah, awam terhadap persoalan hukum, dan alat bukti dikuasai oleh Pengusaha. Namun perlu penulis tekankan, dalam menemukan hukum, hakim juga harus memahami Batasan-batasannya. Menurut Paul Scholten[17] Batasan Hakim dalam melakukan penemuan hukum setidak-tidaknya menyangkut hal-hal berikut:
- Kekaburan norma (vague norm);
Hukumnya ada namun masih harus ditemukan. Hal ini terjadi jika pembentuk undang-undang gagal dalam merumuskan suatu norma. Konsekuensinya, aturan hukum tersebut tidak jelas, tidak lengkap atau bersifat multi tafsir.
- Pertentangan norma (antinomi of Norm);
Aturan yang ada saling bertentangan atau saling tumpang tindih antara satu dengan yang lain. Dalam kedua konteks ini, hukumnya harus ditemukan, balk dengan metode interpretasi, argumentasi, penyempitan hukum, maupun eksposisi.
- Kekosongan Norma (Vacuum of Norm);
Hukumnya sama sekali tidak ada. Tegasnya, suatu peristiwa kongkrit yang terjadi belum diatur oleh hukum. Hal ini sangat dimungkinkan jika peristiwa konkret yang terjadi sama sekali tidak dipikirkan oleh pembentuk undang-undang. Bila terjadi demikian, hakim atau aparat hukum lainnya tidak hanya melakukan penemuan hukum, namun lebih dari itu menciptakan hukum atau membentuk hukum baru.
Atas 3 (tiga) persoalan diatas, dapat dilakukan aktivitas Rechtsvinding dan rechtsvorming. Setelah mengupas mengenai Batasan hakim dalam melakukan penemuan dan atau pembentukan hukum, penulis akan membahas kedudukan kode etik dalam rezim kekuasaan kehakiman.
Setiap profesi memiliki bidang kerja yang berbeda. Perbedaan bidang kerja menentukan kompleksitas suatu profesi yang dijalankan. Agar terselenggaranya praktik profesi yang baik di Indonesia, maka diperlukan sistem norma. Misalkan profesi dokter. Agar terselenggaranya pembangunan kesehatan yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, dibuatlah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Didalamnya dijelaskan mengenai kewajiban Dokter dalam menjalankan profesinya. Tercantum dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang menjelaskan bahwa:
“Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban:
- Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
- Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
- Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
- Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
- Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.”
Begitu juga pada profesi Hakim. Hakim juga mempunyai kewajiban secara yuridis yang diatur pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali nilai keadilan yang ada dimasyarakat sesuai dengan penjelesan pada sub-bab sebelumnya. Sehingga dapat dimaknai segala konsekuensi atas dilakukannya rechtsvinding atau rechtsvorming seperti contra legem terhadap teks-teks norma termasuk hukum acara perdata adalah hal yang diperbolehkan oleh Undang-Undang. Dengan begitu tidak ada alasan bagi norma etika untuk mempermasalahkan kewajiban Hakim yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut.
Menurut hemat penulis, penjelasan diatas tidak semata-mata dapat secara bebas menabrak hukum acara perdata. Selain ada batasannya, Hakim juga wajib menjelaskan pada Putusannya mengapa ia menyimpangi ketentuan norma tersebut seperti pada contoh penyimpangan atas Pasal 163 HIR/283 R.bg/1865 KUHPerdata ketika Penggugat dalam ketimpangan posisi tawar dengan Tergugat.
D. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Hakim dalam melakukan aktivitas penemuan hukum, wajib mengetahui batasannya. Batasan tersebut adalah ketika suatu norma memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Kekaburan norma (Vague norm);
- Pertentangan norma (Antinomi of Norm);
- Kekosongan Norma (Vacuum of Norm);
Ketika suatu norma tertentu terdapat persoalan seperti yang disebut diatas, maka dalam rangka menjalankan asas ius curia novit, Hakim dapat melakukan aktivitas rechtsvinding dan atau rechtsvorming yang dimungkinkan contra legem dengan teks yuridis otoritatif. Dua aktivitas yuridis diatas tidak terbatas pada penerapan hukum materill saja, melainkan pada ranah hukum acara juga dapat diterapkan hal yang sama.
- Secara yuridis normatif, kedudukan Hakim diwajibkan untuk menggali nilai-nilai keadilan yang hidup pada Masyarakat. Segala akibat atas penerapan kewajiban yuridis tersebut termasuk contra legem terhadap ketentuan normatif seperti hukum acara adalah diperbolehkan menurut hukum. Sehingga perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai unprofessional conduct.
Daftar Pustaka
Buku
Andreae, Fockema, (1983), Kamus Istilah Hukum: Belanda-Indonesia, Cet. 1 Jakarta: Binacipta.
Budiarjo, Miriam, (2005). Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Damanik, Sehat, (2004), Hukum Acara Perburuhan, Menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, Cet. Jakarta: DSS Publishing.
Dirjosisworo, Soedjono,( 1983), Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rajawali.
Ibrahim, Johnny, (2005), Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu Media Publising.
Kant, Immanuel, (2010), Critique Of Pure Reason, Cambridge: Cambridge University Press.
Koesoemo, Sisworo Soeyono, (1998), Beberapa Pemikiran Tentang Filsafat Hukum, Semarang: Penerbit Universitas Diponegoro.
Manan, Bagir, (2009) Menegakkan Hukum Suatu Pencarian, Jakarta: Asosiasi Advokat Indonesia.
Mertokusumo ,Sudikno dan A.Pitlo, (1993), Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Jakarta: Citra Aditya Bakti.
Mertokusumo, Sudikno, (1998), Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty.
Mochtar, Zainal Arifin, Eddy O.S Hiariej, (2024), Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Depok: Rajawali Pres.
Wantu, Fence M., (2015), Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan 1, Gorontalo: UNG Press.
Jurnal
M, Wantu Fence, ( 2007), Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim, Mimbar Hukum, 3, Volume 19 (Oktober): 389–90.
Sudirman L, H, (2019), Implementasi Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim Di Ptun Makassar, Volume 14,
Majalah
Majalah Komisi Yudisial, (2017), Proceeding Symposium: The Line Between Legal Error and Misconduct of Judges (Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Cetakan I.
Setiawan, (1997), Hakim di Tengah Konflik Sosial, Majalah Forum Keadilan, No. 19 Tahun VI,
[1] Miriam Budiarjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2005, Hlm 152.
[2] Bagir Manan, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian, (Jakarta: Asosiasi Advokat Indonesia, 2009), hIm. 169.
[3] Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), him. 10
[4] Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1983), hIm. 14.
[5] Setiawan, “Hakim di Tengah Konflik Sosial”, Majalah Forum Keadilan, No. 19 Tahun VI, tanggal 19-11-1997.
[6] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1998), him. 3.
[7] Sisworo Soeyono Koesoemo, Beberapa Pemikiran Tentang Filsafat Hukum (Semarang, Penerbit Universitas Diponegoro, 1998), hIm. 57.
[8] Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayu Media Publising, 2005), hIm. 215.
[9] H. Sudirman L, Implementasi Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim Di Ptun Makassar, Volume 14, Nomor 2, Juli-Desember 2019
[10] Wantu Fence M., “Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim,” Mimbar Hukum, 3, Volume 19 (Oktober 2007): 389–90.
[11] Fockema Andreae, Kamus Istilah Hukum: Belanda-Indonesia, Cet. 1 (Jakarta: Binacipta, 1983), 32.
[12] Immanuel Kant, Critique Of Pure Reason (Cambridge: Cambridge University Press, 2010). Lihat juga David Hume, A Treatise Of Human Nature (Auckland: The Floating Press, 2009).
[13] Fence M. Wantu, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan 1, UNG Press, 2015, hlm.1-2
[14] Majalah Komisi Yudisial: Proceeding Symposium: The Line Between Legal Error and Misconduct of Judges (Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Cetakan I, Agustus 2017) Hlm 2
[15] Damanik, Sehat. Hukum Acara Perburuhan, Menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, Cet. Jakarta: DSS Publishing, 2004.
[16] Jan Dop, Bewijs bij ontslag op staande voet, Publicatiedatum 25 februari 2019, diakses pada Selasa, 15 April 2025, Pukul 09.06 WIB
[17] Zainal Arifin Mochtar, Eddy O.S Hiariej, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Depok: Rajawali Pres, 2024) Hlm. 337